Gerbang Pasar Klewer, Solo |
Pengen banget ikutan ngeramein GAnya momtraveler cantik mak Muna yang sebenernya dah rame banget itu. Sampai bela-belain deh, sambil ngelap-ngelap debu yang mengendap di blog yang dah lama ga dilirik ini, saya menggali kembali kenangan perjalanan lama yang tak bakal terlupakan. Bukan saja tak terlupakan, perjalanan itu malah membuat the course of our family mudik trip changed forever. Ealaah segitunya. Tapi yang memang begitu adanya.
Sudah menjadi kebiasaan keluarga kami seperti juga ribuan penduduk Jakarta lainnya, untuk mudik ke kampung halaman setiap Lebaran Idul Fitri tiba. Suasana riuh rendah berkumpul dengan keluarga besar dan wisata bersama tentunya tak bisa terlewatkan. Kami selalu 'mudik' ke rumah orangtua Mami di Solo. Well, tentunya yang mudik sebenernya si Mami yaah. Kami, alm Papi en anak-anaknya yah cuma ikutan hura-hura ajaah.
Biasanya keluarga besar kami, yaitu Mami dan adik-adiknya yang di Jakarta, berangkat dengan naik mobil. Kadang konvoi kadang sendiri-sendiri, bisa beda hari bisa juga beda jalur, utara atau selatan. Karena walaupun macet, kami biasanya dapat menikmati piknik di jalan. Biasanya, kami berangkat setelah sahur lalu sampai di rumah Eyang, sekitar jam 9-10 malam, selambatnya ga sampai tengah malem lah. Yah, itu karena macet. Dengan supir seperti Papi yang jago ngebut, biasanya jarak Jakarta-Solo ditempuh dalam waktu maksimal 12 jam. Apalagi sekarang ada adikku yang bisa bantu jadi second driver. Tentunya bisa lebih cepat lagi dong. In theory...
Tahun itu, tahun 2000, Mami dan kedua adiknya memutuskan untuk konvoi sambil piknik setelah sekian lama tak pernah mudik berbarengan. Asyiiik, bisa ramai-ramai main dengan oom, tante dan sepupu di jalan nanti. Tentu ga sebosan biasanya.
Jalur Pantura (credit) |
Kami berangkat pada hari H-2 sebelum Lebaran tiba. Setelah sahur, kami pun berangkat sekitar pukul 5.00 WIB. Perjalanan lancar dari rumah, sampai lepas tol Cikampek. Kami pun mengambil jalan yang katanya jalan baru ke arah jalur Pantura dengan belok kiri dari pintu tol, sementara biasanya kami belok kanan. Jalan baru tersebut lumayan ramai, walaupun masih tampak tong-tong bekas aspal di pinggir jalan. Dan ada beberapa bagian badan jalan yang belum selesai. Keadaan ini membuat kendaraaan pemudik harus berjalan perlahan dan hati-hati.
Dan mulailah penderitaan itu. Beberapa kali kami mengalami macet yang cukup lama. Mobil berjalan perlahan dan terkadang berhenti. Tak ada potongan jalan yang bisa dilalui dengan lancar seperti tahun-tahun sebelumnya. Jalan yang biasa macet karena pasar, bertambah macet. Benar-benar kalau diadu dengan siput pun, kami mungkin kalah. Untungnya saat itu, belum banyak pemudik dengan sepeda motor seperti sekarang.
Sampai terjadilah klimaks itu. We're stuck! Tidak bisa maju sama sekali. Mesin mobil mulai 'memerah' sehingga akhirnya diistirahatkan dulu karena jarak waktu antara maju semeter dengan berhenti kembali bisa berkisar setengah jam-an. Wadooh! Tengah hari biasanya semacet-macetnya, kami sudah sampai Cirebon untuk beristirahat. Tapi ini kami tidak tahu sudah sampai mana. Rasanya Indramayu pun masih belum sampai.
Picture Credit |
Akhirnya, sekitar sejam kemudian, kami menyerah pada keadaan dan berbuka di jalan. Memang traveler perjalanan jauh diberi kemudahan untuk tidak berpuasa, tapi kami sudah terbiasa menaklukan hari puasa dalam perjalan mudik. Namun rupanya tidak kali ini. Untunglah ada kemudahan yang diberikan oleh Sang Maha Pemurah.
Oomku bersama Papi pun jadi akhirnya penasaran dengan penyebab terhambatnya konvoi kami di ruas jalan antah berantah itu. Selidik punya selidik, rupanya ada jembatan baru jadi yang belum bisa dipakai bersamaan, sehingga ada bottle neck disana. Dua jalur yang berlawanan harus saling bergantian. Sementara kendaraan yang seharusnya berbaris 2 jalur, malah melar menjadi 4-5 jalur. Gimana ga mau maceeet???!!!! (jambak2rambut)
Saat odometer menunjukkan bahwa kami berjalan sepanjang 2 km, jam menunjukkan bahwa kami sudah 'parkir' di ruas jalan itu selama 5 jam. NANGIIIISSS!!!
Lepas dari keruwetan itu, untungnya kami dapat kembali melaju. Oh tetapi jangan girang dulu sayang. Belum jauh, mobil lancar melaju, kemacetan kembali melanda. "Untungnya" kali ini macetnya ga sampai berhenti-ti seperti tadi. Walau berjalan tersendat, arus lalin masih tetap bergerak.
Kota berikutnya yang biasanya merupakan pitstop kami adalah Pekalongan. Namun apa daya, sekitar jam 8-9 malam, kami masih berada di kota....TEGAL! Duh Gusti. Rasanya bener-bener capek n mau nangis beneran deh. Bukan cuma sayaaaah yang berperasaan begitu. Biasanya jam segitu, gerbang Kartosuro sudah terlihat, menandakan tak lama lagi kami bisa melihat gerbang kota Solo. Dan eyang akan membukakan sendiri pintu tak sabar menanti kedatangan anak cucunya. Aaah, tapi itu duluuuu. Sekarang kenyataan memaparkan, bahwa kita harus berhenti di sini. Semua drivers sudah exhausted. Kami pun mencari budget hotel yang cukup decent. Hadoooh, ternyata ratusan orang di depan kami sudah mengambil kamar untuk beristirahat.
Beberapa lama kami berputar-putar keliling Tegal mencari hotel yang masih lowong. Dan dapatlah kami hotel yang rasanya bukan hotel sama sekali dan benar-benar the lowest grade hotel eveeer. Sepertinya bekas kehidupan malam masih berhembus di hotel itu. Haduuh. Tapi mau gimana lagi, daripada tidur di mobil toh? Keesokan paginya, kami meneruskan perjalanan setelah sarapan bubur dan soto yang kebetulan lewat di depan hotel, dan itu pun hampir kehabisan oleh para pemudik.
Perkiraaan para bapak yang nyetir sih, kami akan sampai sekitar pukul 4 atau 5 di Solo. Memang perjalanan cukup lancar, walau tidak bisa ngebut karena kami kembali menghadapi kemacetan yang luar biasa. Tetapi untungnya tidak sampai berhenti seperti kemarin. Kami pun akhirnya sampai di Solo lewat tengah malam.
Keesokan harinya, saking letihnya, kami hampir ketinggalan solat Ied. Di Solo, solat biasa dimulai sekitar pukul 6 pagi. Sementara di Jakarta, antara jam 7-8 pagi. Waduuh, walau terbirit-birit pagi itu kami berangkat mencari tempat solat yang masih lowong, untungnya ga ketinggalan. Sudah datang dengan penuh perjuangan kalau sampai ga solat Ied, ya kebangetan kaliii...
Total perjalanan yang biasanya ditempuh normal 12 jam dan macet sekitar 16-17 jam tanpa harus terpotong, kali ini harus ditempuh sambil menginap di tengah perjalanan dalam waktu hampir 48 jam. The worst and unforgettable journey ever.
Setelah itu, tak pernah lagi kami (saya ataupun mami papi) dan juga adik-adik mami pergi mudik ke Solo dengan mobil. Biasanya kami akan naik kereta. Atau bila memungkinkan kami akan berangkat pada hari H atau H+1. Kini dengan banyaknya tiket murah, keluarga oom saya pun memakai pesawat. Sementara setelah wafatnya eyang pada tahun 2007, mami pun jarang ke Solo lagi. Kali ini saya yang mudik ke beliau di Jakarta selama tinggal di Saudi.
Kalau sekarang ini katanya macet tambah parah di jalur pantura, well, saya tidak akan heran. Wong 14 tahun lalu, macetnya sudah luar biasa, apalagi sekarang dengan jumlah penduduk dan kendaraan yang bertambah.
Bagi saya cukup deh pertama dan terakhir kali itu saja merasakan kemacetan ala parkir di tengah jalan. Dan tentunya perjalanan nyebelin tapi seru dan memorable ini pun tak kan pernah lekang dari memori saya dan juga saudara-saudara saya. Karena terkadang, kenangan ini muncul dalam joke di keluarga kami. Let's always try to see the bright side of the gloomy sky.
perjuangannya ya mak yang mo mudik heheh...
ReplyDeleteanyway makasih banyak ya sudah ikut meramaikan GA ku, ;)