"Kamu tahu ga, J lahirnya kapan", tanya ayah teman sekolah si Mas padaku.
"Emm, Oktober bukan, dia baru aja ultah kan?"
"Yaa, tapi waktu dia lahir...tau ga, itu pas saat 'Suikerfeest' (Pesta Gula - terjemah bebas). It was nice, banyak perempuan muslim datang ke rumah sakit, lalu mendatangi bayi-bayi yang baru lahir dan menyapa kita"
" Wow, nice. Terus... kamu dapet gula, eh permen?"
Si bapak diam sejenak
" Mmm, namanya suikerfeest, tapi bukan berarti kita dapat permen atau gula"
Ternyata kata suamiku, yang namanya suikerfeest itu merujuk kepadaaa... Idul Fitri. Orang Belanda karena kebanyakan tau tentang Islam dari mukimin asal Turki, maka mereka menyebut Idul Fitri sebagai Suikerfeest. Hal ini karena budaya Turki merayakan Idul Fitri salah satunya dengan berbagi makanan manis. Begitu pula aku ingat salah satu teman Turkiku di kelas membagikan permen saat Idul Fitri.
Tentunya bagiku yang tak terbiasa dengan suikerfeest, akan menterjemahkan mentah-mentah kata pesta sugar dengan berbagi makanan manis dong. Yeee, sii oom, manalah eike ngeh, uw maksud Id Fitri. Di Indonesia, kita kan tidak berbagi permen, tapi bagi2 duit, makan makanan bersantan n ketupat, pokoknya parteeeey!!
Kejadian kedua hari ini dan setahun sebelumnya, saat seorang teman mengajakku dan anak-anak untuk besok tanggal 11 November ikutan berjalan dari rumah ke rumah. Ngider lah ceritanya.
"Besok ikutan Sint Marteen ga loe sama kita"
"Ga ah, kita kan ga ngerayain St. Marten"
"Itu kan bukan ngerayain"
"Terus ngapain?"
"Ya anak-anak ngetok pintu, terus nyanyi, abis itu dikasih permen deeh"
"Nyanyinya apa?"
"Yah pasti anak loe diajarin deh di sekolah,anak-anak seneng dapet permennya"
Dan memang, anakku diajarkan di sekolah menyanyi lagu ttg Saint Marteen.
Suatu jenis caroling di Belanda gitu deh.
"En kenapa juga ambil permen. Dapet permen juga bisa nanti pas Idul Fitri "
"Temen gue dari negara arab en muslim, juga besok ikutan"
"Temen suami gue orang Belanda (mualaf) ga pernah ikutan lagi"
"Yah gimana dong"
"Ya terserah loe lah, tapi anak2 gue ga ikutan yeee..."
Dua kejadian dalam waktu yang berdekatan membuat aku berpikir sampai pengen menulis. *Biasanya cuma dipikir doang, ga sampe pengen nulis maksudnya*. Religion and culture adalah dua hal yang berbeda namun seringkali disamakan. Ga usah antar negara, di Jawa saja banyak. Maklum aku orang Jawa, ga usah pakai rahasia umum, sudah tahu lah pencampuradukan budaya dengan agama.
Di kejadian pertama, karena ketidak tahuan orang lokal (baca: Belanda) tentang Islam, disangkanya Islam itu merupakan budaya Turki atau Maroko. Bahkan, sekarang sedang marak orang Belanda yang membenci Maroko karena tidak senang Islam yang tentunya dipropagandakan oleh Wilders si penghujat Islam. Nah looh! Sehingga sering ada hate statement yang menyuruh orang Islam pulang ke "negaranya" (maksudnya Maroko). Ealaah... salah kaprah kaan. Bagaimana dengan orang Belanda asli yang telah convert menjadi muslim/muslima. Pulang kemana mereka, lah kampungnya mereka disini... Kebanyakan mereka tidak mengerti atau lupa, bahwa agama tidaklah berkaitan dengan asal negara, bangsa maupun ras. Jadi mungkin bapaknya si J merasa heran bagaimana mungkin aku tidak mengerti apa itu Suikerfeest, karena dipikirnya Suikerfeest adalah pestanya orang Islam. Eemm, kita nyebutnya Lebaran oom, hihihi... Beda kaan, padahal agama kita sama2 Islam dan yang dirayakan sama-sama Idul Fitri, pesta setelah bulan Ramadhan berlalu.
Sementara kejadian kedua adalah perayaan agama menjadi ragam adat istiadat yang rutin berlaku di masyarakat. Perayaan agama bukanlah hanya saat berdoa dan acara ritual sakral lainnya, tapi saat kita menghidupkan spirit yang dibawa oleh acara tersebut. Kalau dalam acara besok, yang dihidupkan ya spiritnya St. Marteen yang dianggap sebagai pelindung anak-anak dan orang miskin, lengkapnya bisa dibaca di wiki ini. Mungkin itu kenapa pelaksana acara carolingnya adalah anak2 dan berbagi permen menjadi simbol pemberian makanan. Yaah, mana aku tau pasti, aku cuma menyimpulkan hehehe... Maka dari itu, karena aku tidak berafiliasi dengan St. Martin tentunya aku dan keluargaku tidak ikut merayakan hari wafatnya.
Memang ga gampang memisahkan antara budaya dengan agama. Dulu saja para wali memperkenalkan agama Islam dengan memakai kesenian Jawa seperti wayang kulit. Aku pun seringkali bingung karena batas pelaksanaan agama atau budaya seringkali memang tipis sekali. Tetapi yang namanya tipis tetap saja namanya batas.
Yang pasti sebagai muslim(a) yang terus belajar, aku mencoba menjaga akidahku dan keluargaku, walaupun berat tantangannya di negeri ini. Semoga saja kami bisa tetap istiqomah dan Allah memberikan selalu hidayahnya agar aqidah kami selalu terjaga. Aamiin...
"Emm, Oktober bukan, dia baru aja ultah kan?"
"Yaa, tapi waktu dia lahir...tau ga, itu pas saat 'Suikerfeest' (Pesta Gula - terjemah bebas). It was nice, banyak perempuan muslim datang ke rumah sakit, lalu mendatangi bayi-bayi yang baru lahir dan menyapa kita"
" Wow, nice. Terus... kamu dapet gula, eh permen?"
Si bapak diam sejenak
" Mmm, namanya suikerfeest, tapi bukan berarti kita dapat permen atau gula"
Ternyata kata suamiku, yang namanya suikerfeest itu merujuk kepadaaa... Idul Fitri. Orang Belanda karena kebanyakan tau tentang Islam dari mukimin asal Turki, maka mereka menyebut Idul Fitri sebagai Suikerfeest. Hal ini karena budaya Turki merayakan Idul Fitri salah satunya dengan berbagi makanan manis. Begitu pula aku ingat salah satu teman Turkiku di kelas membagikan permen saat Idul Fitri.
Tentunya bagiku yang tak terbiasa dengan suikerfeest, akan menterjemahkan mentah-mentah kata pesta sugar dengan berbagi makanan manis dong. Yeee, sii oom, manalah eike ngeh, uw maksud Id Fitri. Di Indonesia, kita kan tidak berbagi permen, tapi bagi2 duit, makan makanan bersantan n ketupat, pokoknya parteeeey!!
Kejadian kedua hari ini dan setahun sebelumnya, saat seorang teman mengajakku dan anak-anak untuk besok tanggal 11 November ikutan berjalan dari rumah ke rumah. Ngider lah ceritanya.
"Besok ikutan Sint Marteen ga loe sama kita"
"Ga ah, kita kan ga ngerayain St. Marten"
"Itu kan bukan ngerayain"
"Terus ngapain?"
"Ya anak-anak ngetok pintu, terus nyanyi, abis itu dikasih permen deeh"
"Nyanyinya apa?"
"Yah pasti anak loe diajarin deh di sekolah,anak-anak seneng dapet permennya"
Dan memang, anakku diajarkan di sekolah menyanyi lagu ttg Saint Marteen.
Suatu jenis caroling di Belanda gitu deh.
"En kenapa juga ambil permen. Dapet permen juga bisa nanti pas Idul Fitri "
"Temen gue dari negara arab en muslim, juga besok ikutan"
"Temen suami gue orang Belanda (mualaf) ga pernah ikutan lagi"
"Yah gimana dong"
"Ya terserah loe lah, tapi anak2 gue ga ikutan yeee..."
Dua kejadian dalam waktu yang berdekatan membuat aku berpikir sampai pengen menulis. *Biasanya cuma dipikir doang, ga sampe pengen nulis maksudnya*. Religion and culture adalah dua hal yang berbeda namun seringkali disamakan. Ga usah antar negara, di Jawa saja banyak. Maklum aku orang Jawa, ga usah pakai rahasia umum, sudah tahu lah pencampuradukan budaya dengan agama.
Di kejadian pertama, karena ketidak tahuan orang lokal (baca: Belanda) tentang Islam, disangkanya Islam itu merupakan budaya Turki atau Maroko. Bahkan, sekarang sedang marak orang Belanda yang membenci Maroko karena tidak senang Islam yang tentunya dipropagandakan oleh Wilders si penghujat Islam. Nah looh! Sehingga sering ada hate statement yang menyuruh orang Islam pulang ke "negaranya" (maksudnya Maroko). Ealaah... salah kaprah kaan. Bagaimana dengan orang Belanda asli yang telah convert menjadi muslim/muslima. Pulang kemana mereka, lah kampungnya mereka disini... Kebanyakan mereka tidak mengerti atau lupa, bahwa agama tidaklah berkaitan dengan asal negara, bangsa maupun ras. Jadi mungkin bapaknya si J merasa heran bagaimana mungkin aku tidak mengerti apa itu Suikerfeest, karena dipikirnya Suikerfeest adalah pestanya orang Islam. Eemm, kita nyebutnya Lebaran oom, hihihi... Beda kaan, padahal agama kita sama2 Islam dan yang dirayakan sama-sama Idul Fitri, pesta setelah bulan Ramadhan berlalu.
Sementara kejadian kedua adalah perayaan agama menjadi ragam adat istiadat yang rutin berlaku di masyarakat. Perayaan agama bukanlah hanya saat berdoa dan acara ritual sakral lainnya, tapi saat kita menghidupkan spirit yang dibawa oleh acara tersebut. Kalau dalam acara besok, yang dihidupkan ya spiritnya St. Marteen yang dianggap sebagai pelindung anak-anak dan orang miskin, lengkapnya bisa dibaca di wiki ini. Mungkin itu kenapa pelaksana acara carolingnya adalah anak2 dan berbagi permen menjadi simbol pemberian makanan. Yaah, mana aku tau pasti, aku cuma menyimpulkan hehehe... Maka dari itu, karena aku tidak berafiliasi dengan St. Martin tentunya aku dan keluargaku tidak ikut merayakan hari wafatnya.
Memang ga gampang memisahkan antara budaya dengan agama. Dulu saja para wali memperkenalkan agama Islam dengan memakai kesenian Jawa seperti wayang kulit. Aku pun seringkali bingung karena batas pelaksanaan agama atau budaya seringkali memang tipis sekali. Tetapi yang namanya tipis tetap saja namanya batas.
Yang pasti sebagai muslim(a) yang terus belajar, aku mencoba menjaga akidahku dan keluargaku, walaupun berat tantangannya di negeri ini. Semoga saja kami bisa tetap istiqomah dan Allah memberikan selalu hidayahnya agar aqidah kami selalu terjaga. Aamiin...
Memang susah sih Mba Vica ya untuk benar-benar memisahkan agama dan budaya. Sebagai orang jawa bisa memahami banget postingan ini karena di kampung masih sering acara agama nyampur sama budaya.
ReplyDeleteiya kan Dan, ga disana ga disini yah selama masih hidup sebagai manusia sosial, benturan agama n budaya pasti bakal ada aja ya. Thanks for coming yaa :)
Deletesetuju, Mak. Terus berusaha menjaga akidah dan jangan berhenti belajar ya
ReplyDeletedoain supaya bisa istiqomah ya mak... :)
DeleteBaru blogwalking dan nemu tulisan ini, sembilan jempol dah.. hihihi :)
ReplyDeletebaru liat komennya hihihi.. kebanyakn mas/mba jempolnya.. gimana bisa ngetik ini hahaha
DeleteKeren mb vica tulisannya.. Jd kecanduan baca tulisan mb yg laen
ReplyDelete