Masih ketinggalan di dalam memoriku, percakapan dengan seorang teman saat mengisi waktu sepanjang perjalanan dalam sebuah taxi di Jeddah. Mendengar keinginanku untuk pergi keluar dari Saudi dan kembali ke Belanda atau negara Eropa lain, tiba-tiba dia berkata bahwa ada hadits yang melarang seorang muslim untuk menetap di negara kafir apalagi membeli rumah disana. Terus terang saja aku kaget. Hadits darimana itu. Dia hanya mengatakan pernah baca atau dengar. Lalu aku bertanya, lalu bagaimana dengan muslim yang memang asalnya dari negara yang disebut kafir itu sendiri. Lagipula siapa yang punya negara? Bukannya ini bumi Allaah, disinilah kita bisa berjalan sebagai kafillah. Lalu mengapa bisa muncul hadits yang melarang hal yang seperti itu. Walau ilmu agama saya tidak ada, apalagi soal hadits, tapi setahu saya, Islam itu penuh logika dan tidak mempertentangkan antara satu hal dengan yang lainnya. Semua ada penjelasannya kecuali yang memang tidak ada penjelasan yang menjadi rahasia Illahi.
Memang setelah saya coba minta bantuin oom gugel, ketemu juga hadits yang dimaksud teman saya itu. Namun logikanya masih tidak masuk di otak saya, karena bukankah bumi Allaah itu luas dan kita bisa berpindah di manapun. Lalu bukankah opresi bisa ada dimana saja, siapapun pemimpinnya.
Hal ini muncul kembali di pikiranku saat masalah pengungsi Syria memenuhi headlines dimana-mana. Mengapa pengungsi tersebut bukannya lari ke negara tetangganya yang muslim dan kaya raya seperti Saudi, Kuwait, Bahrain. Bukankah kita harus menolong sodara sesama muslim yang sedang dalam kesulitan, apalagi menyangkut keamanan diri. Dan sebagai pengusung hadits, bukankan seharusnya pemimpin negara2 tersebut berpegang pada hadits bahwa muslimin tidak boleh berada di negara kafir.
Mereka, negara-negara itu bagaikan sudah menutup pintu bagi para pengungsi itu sehingga terpaksa mereka lari ke Eropa. Saudi telah banyak menerima pengungsi dari Yaman, namun apa salahnya menerima sekitar ribuan pengungis lagi dari Syria? Sementara ratusan ribu sudah ditampung negara2 yang berbatasan dengan mereka, bahkan dengan Libanon dan Iraq yang keadaannya kurang lebih sama dengan Syria.
Disitulah saya jadi merasa tergelitik untuk menulis tentang ini. Menetap di SAudi selama 7 tahun, seharusnya tidak membuatku heran mengapa mereka tidak menerima sebanyak mungkin pengungsi. Sistem kontrak expatriates saja bagaikan sistem modern slavery dengan model kafil/sponsor yang berkuasa penuh atas pegawainya, tak peduli white or blue collar, level manajer ataupun level kacung. Semua sama perlakuannya dalam kontrak dengan kafil. No free movement dan kontrak bisa sewaktu-waktu terminated tanpa alasan. Bahkan paspor pun ditahan oleh perusahaan sehingga tidak dapat sewaktu-waktu keluar dari Saudi. Dan sekarang, mungkin untuk apa mereka mau menerima lebih banyak pengungsi? Budget saja sekarang defisit. Walaupun masih ada reserve, tentu akan terus terkuras, sementara penghasilan utama mereka dari minyak yang saat ini harganya terus turun. Jadi, untuk apa pusing mengurus orang lain?
Di sisi lain, ada hal yang mengganjal pemikiranku dan ilmu geografiku. Bagaimana caranya para pengungsi itu terdampar menuju ke negara2 Eropa barat? Bila saya sedang ketakutan, saya tentunya akan mengungsi ke tempat terdekat yang bisa memberi saya perasaan aman dan tempat melepas lelah serta kembali berkumpul bersama keluarga. Masih masuk akal saat melihat kapal terdampar di lepas pantai Turki atau negara-negara mediteranean lainnya. Dan juga saat terlihat di layar TV, ribuan orang mengantri di Bulgaria dan Hungaria untuk bisa mengajukan asilum. Semua masih masuk akal. Di peta di bawah ini, terlihat memang negara-negara tersebut lah yang berbatasan dengan laut penghubung Syria dengan Eropa.
Tapi, saat kemudian ternyata asylum banyak diajukan ke negara2 kaya Eropa seperti Jerman, itulah yang mulai bikin jari saya juga gatal untuk menulis.
Bila saya dalam keadaan takut, rasanya tidak akan terpikir oleh saya untuk terpikir hal-hal material. Bila misalnya saya sedang berjalan dalam badai, kemudian terdampar di rumah terdekat dan diberikan paling tidak tempat berteduh, rasanya sudah cukup bagi saya. Apalagi lalu kemudian si tuan rumah walau sibuk berbaik hati menawarkan tempat di ruang tamunya.
Menurut statistik, walau Itali dan Yunani menampung pengungsi terbanyak karena letak geografisnya, tetapi ternyata Jerman merupakan negara yang paling banyak dituju para pengungsi untuk mengajukan asilum. Kenapa? Karena Jerman adalah negara yang paling "generous" dalam mengurus pengungsi. Selain diberi shelter, bila mereka mendapatkan visa asilum dan menetap sebagai pengungsi, mereka akan mendapat semacam tunjangan yang cukup untuk hidup per bulannya.
Seharusnya dengan adanya hukum dalam EU yang menyatakan pengungsi harus meminta asylum di negara EU pertama yang mereka datangi, mereka tidak akan bergerak dari Itali atau Yunani. Namun sayangnya kedua negara yang sedang kesulitan ekonomi tersebut, tidak menjalankan hukum tersebut, sehingga imigran pun bebas mencari tempat yang sesuai dengan keinginan perut mereka. Jadi apakah salah bila saya merasa ada yang aneh dari para pengungsi ini? Sempat-sempatnya sebagian dari mereka berpikir untuk mendapatkan perut enak atau masa depan, sementara sodara mereka yang lain sibuk menyelamatkan diri dan berpikir untuk dapat bertahan hidup paling tidak sampai keesokan hari.
Dan, kenapa pula harus satu negara Jerman saja yang menanggung kebanyakan pengungsi. Kemana negara Eropa lainnya? Duh, tambah gatal kalau mikirin hal seperti ini.
Jadi, perlu tidak ada kambing hitam? Rasanya untuk saya yang perlu disalahkan adalah perangnya lah. Kalau tidak ada perang, tentu tidak ada rasa ketakutan terusir dari tanah kelahiran sendiri. Terus siapa yang diuntungkan dari perang ini? Waduuh, kalau sudah masuk ranah konspirasi teori ini, ga abis satu posting ngomongnya. Saya cuma bisa menulis di blog sendiri, agar otak yang gatal ini bisa sedikit tergaruk.
May everyone live in peace and prosperity.
Memang setelah saya coba minta bantuin oom gugel, ketemu juga hadits yang dimaksud teman saya itu. Namun logikanya masih tidak masuk di otak saya, karena bukankah bumi Allaah itu luas dan kita bisa berpindah di manapun. Lalu bukankah opresi bisa ada dimana saja, siapapun pemimpinnya.
Hal ini muncul kembali di pikiranku saat masalah pengungsi Syria memenuhi headlines dimana-mana. Mengapa pengungsi tersebut bukannya lari ke negara tetangganya yang muslim dan kaya raya seperti Saudi, Kuwait, Bahrain. Bukankah kita harus menolong sodara sesama muslim yang sedang dalam kesulitan, apalagi menyangkut keamanan diri. Dan sebagai pengusung hadits, bukankan seharusnya pemimpin negara2 tersebut berpegang pada hadits bahwa muslimin tidak boleh berada di negara kafir.
Mereka, negara-negara itu bagaikan sudah menutup pintu bagi para pengungsi itu sehingga terpaksa mereka lari ke Eropa. Saudi telah banyak menerima pengungsi dari Yaman, namun apa salahnya menerima sekitar ribuan pengungis lagi dari Syria? Sementara ratusan ribu sudah ditampung negara2 yang berbatasan dengan mereka, bahkan dengan Libanon dan Iraq yang keadaannya kurang lebih sama dengan Syria.
Disitulah saya jadi merasa tergelitik untuk menulis tentang ini. Menetap di SAudi selama 7 tahun, seharusnya tidak membuatku heran mengapa mereka tidak menerima sebanyak mungkin pengungsi. Sistem kontrak expatriates saja bagaikan sistem modern slavery dengan model kafil/sponsor yang berkuasa penuh atas pegawainya, tak peduli white or blue collar, level manajer ataupun level kacung. Semua sama perlakuannya dalam kontrak dengan kafil. No free movement dan kontrak bisa sewaktu-waktu terminated tanpa alasan. Bahkan paspor pun ditahan oleh perusahaan sehingga tidak dapat sewaktu-waktu keluar dari Saudi. Dan sekarang, mungkin untuk apa mereka mau menerima lebih banyak pengungsi? Budget saja sekarang defisit. Walaupun masih ada reserve, tentu akan terus terkuras, sementara penghasilan utama mereka dari minyak yang saat ini harganya terus turun. Jadi, untuk apa pusing mengurus orang lain?
Kartun sindiran ke negara Gulf yang beredar di twitter.com |
Di sisi lain, ada hal yang mengganjal pemikiranku dan ilmu geografiku. Bagaimana caranya para pengungsi itu terdampar menuju ke negara2 Eropa barat? Bila saya sedang ketakutan, saya tentunya akan mengungsi ke tempat terdekat yang bisa memberi saya perasaan aman dan tempat melepas lelah serta kembali berkumpul bersama keluarga. Masih masuk akal saat melihat kapal terdampar di lepas pantai Turki atau negara-negara mediteranean lainnya. Dan juga saat terlihat di layar TV, ribuan orang mengantri di Bulgaria dan Hungaria untuk bisa mengajukan asilum. Semua masih masuk akal. Di peta di bawah ini, terlihat memang negara-negara tersebut lah yang berbatasan dengan laut penghubung Syria dengan Eropa.
Peta Pengungsian Syria.
Letak Syria masih agak di bawah sebelah kanan Turkey
source: BBC
Tapi, saat kemudian ternyata asylum banyak diajukan ke negara2 kaya Eropa seperti Jerman, itulah yang mulai bikin jari saya juga gatal untuk menulis.
Bila saya dalam keadaan takut, rasanya tidak akan terpikir oleh saya untuk terpikir hal-hal material. Bila misalnya saya sedang berjalan dalam badai, kemudian terdampar di rumah terdekat dan diberikan paling tidak tempat berteduh, rasanya sudah cukup bagi saya. Apalagi lalu kemudian si tuan rumah walau sibuk berbaik hati menawarkan tempat di ruang tamunya.
Menurut statistik, walau Itali dan Yunani menampung pengungsi terbanyak karena letak geografisnya, tetapi ternyata Jerman merupakan negara yang paling banyak dituju para pengungsi untuk mengajukan asilum. Kenapa? Karena Jerman adalah negara yang paling "generous" dalam mengurus pengungsi. Selain diberi shelter, bila mereka mendapatkan visa asilum dan menetap sebagai pengungsi, mereka akan mendapat semacam tunjangan yang cukup untuk hidup per bulannya.
Seharusnya dengan adanya hukum dalam EU yang menyatakan pengungsi harus meminta asylum di negara EU pertama yang mereka datangi, mereka tidak akan bergerak dari Itali atau Yunani. Namun sayangnya kedua negara yang sedang kesulitan ekonomi tersebut, tidak menjalankan hukum tersebut, sehingga imigran pun bebas mencari tempat yang sesuai dengan keinginan perut mereka. Jadi apakah salah bila saya merasa ada yang aneh dari para pengungsi ini? Sempat-sempatnya sebagian dari mereka berpikir untuk mendapatkan perut enak atau masa depan, sementara sodara mereka yang lain sibuk menyelamatkan diri dan berpikir untuk dapat bertahan hidup paling tidak sampai keesokan hari.
Dan, kenapa pula harus satu negara Jerman saja yang menanggung kebanyakan pengungsi. Kemana negara Eropa lainnya? Duh, tambah gatal kalau mikirin hal seperti ini.
Jadi, perlu tidak ada kambing hitam? Rasanya untuk saya yang perlu disalahkan adalah perangnya lah. Kalau tidak ada perang, tentu tidak ada rasa ketakutan terusir dari tanah kelahiran sendiri. Terus siapa yang diuntungkan dari perang ini? Waduuh, kalau sudah masuk ranah konspirasi teori ini, ga abis satu posting ngomongnya. Saya cuma bisa menulis di blog sendiri, agar otak yang gatal ini bisa sedikit tergaruk.
May everyone live in peace and prosperity.
mungkin ga ya diungsikan ke Indonesia mba? hhe ,. salam kenal artikelnya sangat bermanfaat.,
ReplyDeletesuriah harus di selamatkan atas pergolakan barat
ReplyDelete