Skip to main content

Take Me Out to the Ball Game


Pintu Masuk Stadion Giuseppe Meazza - San Siro, Milan

Take me out to the ball game, take me out with the crowd...

Suka deh sama lagu anak-anak ini. Walaupun temponya agak lambat sehingga agak kurang cocok dengan jiwa lagunya (menurut saya looh), tapi intinya yang merayakan kegembiraan saat menonton pertandingan olahraga (dalam lagu ini, baseball) memang cocok sekali untuk menggambarkan keadaan saat kita duduk di suatu stadion dan menonton pertandingan olahraga...apapun olahraganya. The cheering, the thundering sound, the clapping, the mocking, everything...They really pump up your adrenaline and make you not wanna get back. Gegap gempita suara penonton yang mendukung tim kesayangannya merupakan suatu pengalaman rasa yang tak bisa terlupakan dan kadang akan menagih untuk menuai rasa itu lagi.

Bermula dari kesenangan saya menonton bola, tentunya bila ada kesempatan ingin rasanya menonton bola di stadion besar. Keluar dari rumah dan menuju ke tempat dan pengalaman baru, itulah inti traveling bagi saya. This time, I'll just let my itchy feet take me out to the ball game.

Dimulai dari menjadi supporter tim sepakbola SMA, saya pun menjadi memiliki beberapa teman dekat yang memiliki hobi sama. Sebagai penggemar Liga Serie A, tentunya kedatangan tim dari negeri spageti tersebut, yaitu Sampdoria dan AC Milan, pertama kalinya ke Indonesia, tidak mungkin saya sia-siakan. Berbekal uang jajan yang dikumpulkan (plus plus hasil nodong ortu ;)), saya berhasil menyambangi Stadion Utama Gelora Senayan (belum jadi GBK waktu itu).

Nonton Intermilan warming up di Amsterdam ArenA

Pertandingan pertama yang saya sambangi adalah Sampdoria melawan PSSI pada tahun 1994. Waktu itu saya hanya nonton berdua saja dengan sohib saya Al. Ortu kami seperti berpikiran bahwa pertandingan persahabatan apalagi dengan PSSI tentu tidak akan rusuh seperti halnya pertandingan di liga Indonesia. Jadi mereka mengizinkan kami pergi berdua saja.

Woooow! Suasana di Senayan waktu itu benar-benar riuh walaupun ini hanya pertandingan eksebisi. Apalagi suasana diwarnai dengan dukungan penuh untuk Kurniawan, pemain muda Indonesia yang bermain di Sampdoria. Kebanggaan itu rasanya membuncah melihatnya yang masih seumuran dengan kami berlaga berdampingan dengan Roberto Mancini dan David Platt (yang ga tahu siapa mereka, silahkan google sendiri :p). Ia sendiri memasukkan gol ke gawang PSSI untuk pertandingan yang berakhir dengan skor 3-2 untuk Sampdoria itu. Teringat rasanya kami tak ingin pulang saat pertandingan itu usai. dan Al yang begitu bersemangat rooting for Roberto Mancini, pemain favoritnya. 


Selang sebulan setelahnya, saya mengikuti pertandingan eksebisi AC Milan melawan Persib Bandung. Yand diwarnai dengan terjadinya hambatan di bagian perizinan. Ortu saya mengkhawatirkan keadaan di stadiun nantinya.Yah, sebelumnya kan hanya PSSI yang notabene tidak ada penggemar fanatiknya karena pemainnya berasal dari berbagai klub. Nah, karena faktor PERSIB yang merupakan 1 klub saja inilah, tentunya faktor fanatisme akan berperan besar. Walaupun waktu itu yang terkenal dengan pasukan bonek adalah PERSEBAYA Surabaya, tetap saja waktu itu Papi (alm) tidak mengizinkan saya menonton kalau hanya berdua dengan Al. Untungnya ada teman yang berani menemani kita bahkan dengan baik hati nebengin kita ke Senayan. Namanya juga Al, tapi yang ini cowok kok, jadi paling tidak bisa jadi bodyguard yang disyaratkan ortu. Walaupun sebenarnya kalau jalan bersama Al cewek, saya selalu merasa aman, wong dia jago karate kok :).

Pertandingan ACM vs Persib juga ruamainya. Apalagi banyak pendukung fanatik Persib dan AC Milan. Saya sendiri sebenarnya bukan penggemar Milan, karena saya waktu itu seorang Interisti sejati. Tapi masak kesempatan menonton pemain dunia secara langsung dilewatkan begitu saja. Di pikiran saya, bagaimana coba caranya saya bisa ke Eropa menonton bola, padahal kami kan hanya keluarga sederhana saja. Jadi the time is now or never! Mimpinya belakangan aja, sekarang kejar nonton yang sudah ada di depan mata. Pertandingan berlangsung berat sebelah diakhiri kemenangan ACM 8-0. Dan mulailah keributan itu.

ACM vs Persib (taken from here)

Kami pun buru-buru berusaha meninggalkan kursi kami. Di saat berusaha keluar itulah, tiba-tiba dari kursi atas, kami yang duduk di bagian bawah dihujani berbagai barang, mulai dari gelas plastik, botol plastik, kertas dan lain-lain deh. Dan Al cowok yang berbadan besar sibuk melindungi cewek-cewek mungil ini dari terjangan barang-barang tersebut, sampai splash! Ia tersiram cairan dari dalam kantong plastik yang pecah. Selamat sampai di luar, ia pun menuju toilet dulu untuk membersihkan diri. Euuugh... So disgusting and embarassing, those boneks... Malu-maluin aja sih, sama tamu yang cuma main buat entertainment aja seperti itu, apalagi kalau lagi kompetisi beneran. Haduuuh! Saya pun rasanya berterima kasih banget sama Al cowok yang beneran menjaga kita berdua. Serem rasanya membayangkan kalau itu pertandingan beneran antar klub yang berkompetisi. Rasanya ini akan menjadi pertandingan terakhir yang saya tonton di Stadion Senayan. Memang setelah itu tak pernah ada lagi tim dari luar Indonesia yang datang bermain ke Senayan. Sayang sekali ya...
 
But surely, never ever set aside your dream! 

Tahun 2002, 8 tahun setelah pertandingan terakhir di Senayan itu, mimpi saya menonton bola langsung di negeri asalnya alhamdulillaah terwujud. Beratnya sekolah di Rotterdam dan karena memang saya tidak menyukai Feyenoord dan segala sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola Belanda (ga percaya? Baca postingan ini deh) membuat saya tidak pernah menonton pertandingan bola disini. Namun, saat saya sedang merencanakan liburan winter ke Itali, tiba-tiba terpikir untuk melihat pertandingan Intermilan. Kebetulan pula, disni saya menemukan teman yang sehati dalam menonton bola, Hentje dan Ge. Dulu, bila ada perempuan suka menonton bola, pasti dikatakan karena senang melihat pemainnya bukan permainannya. Tapi dengan Al dan Hentje (plus Yo dan Ge), saya sehati. Kami melihat sepakbola for the love of the game, sementara kalau pemainnya ganteng-ganteng adalah plus sidenya apalagi kalau permainan berjalan boring hahaha....

Jadi saat saya browsing pertandingan Inter di saat saya sedang berada di Italy, betapa gembiranya saya karena ternyata ia akan berhadapan dengan AC Parma (sekarang Parma FC) di kota Parma. Wah, langsung saya ajak Hentje untuk membeli tiket pertandingan tersebut. Favorit utama Hentje memang sebenarnya sih AC Milan dan Juventus, tapi karena dia pendukung tim Itali, ia pun menyukai semua tim di Serie A, tidak seperti saya yang terbatas hanya kepada Inter, Roma dan Parma. Untunglah, jadi no problem bagi dia untuk menonton tim kesayangan saya saling beradu. Tiket pun dipesan, kami pun membuat rendezvous di Milan dan dari sana akan berangkat bersama ke Parma. Memang karena kami berbeda bidang, liburan kami pun berbeda. Saya yang libur lebih dulu berangkat duluan menjelajah Itali (that's another story to tell ;)).


Saya yang pagi itu baru tiba dari Bologna pun menunggu Hentje yang akan datang dari Rotterdam di Milan Central Station (Milano Centrale) yang amat ramai. Setelah bertemu, kami pun mengisi perut dan menaruh koper di hostel, sebelum akhirnya kembali ke Milano Centrale mengejar kereta ke Parma. Sayang, waktu separuh hari telah habis sehingga kami sampai di Parma sudah sore, sementara gelap datang lebih cepat di musim dingin. Kami pun berjalan-jalan sejenak melihat-lihat kota Parma yang terkenal sebagai asal keju Parmigiano atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal sebagai Parmesan. Tak hanya itu, kota yang berada di wilayah Emilia Romano ini juga dikenal sebagai daerah kelahiran komposer opera terkenal Giuseppe Verdi. Kota kecil ini memberikan suasana temaram menjadi indah saat kami jelajahi. Memang disayangkan, kami tidak bisa banyak melihat bagian lain dari kota ini selain karena gelap juga karena kami harus mulai berjalan menuju stadion Ennio Tardini. Paling tidak kami sempat melewati Piazza Garibaldi yang merupakan salah satu piazza (lapangan) utama di Parma. Dan, ternyata sempat juga iseng belanja di toko jaket yang sedang menawarkan diskon. Asyiiik, walau murah meriah dan tidak bermerek, tetap saja judulnya "Made in Italy".

Piazza Garibaldi di Parma

Sesampainya di Stadion, kami harus menukarkan kwitansi online dengan tiket aslinya. Untungnya tidak ada antrian panjang. Setelah itu kami pun mencari tempat masuk pemain dan berdiri bersama para fans lainnya menunggu kedatangan mereka. Kami terlonjak kegirangan melihat para pemain yang biasanya hanya kami lihat di layar TV tiba-tiba berada di depan mata kami langsung. Rasanya tak terungkapkan. Setelah mereka semua masuk ke dalam ruang ganti pemain, barulah kami memasuki tribun penonton.

Di depan Stadion Ennio Tardini (krn foto jadul, diphotoshop dulu ya dengan keadaan skrg)
Kembali perasaan yang meletup-letup meliputi stadion dan hati saya. Masih tak percaya rasanya saya bisa berdiri disini, di salah satu stadion tertua di Italia, akan menyaksikan tim kesayangan yang saya ikuti sejak saya SMP. Dreams do come true, subhanAllaah. Dingin yang menembus jaket saya yang sudah berlapis dua berusaha kami tepis dengan melonjak-lonjak di depan kursi kami. Namun rasanya lompatan demi lompatan bukan hanya aku lakukan untuk mengusir hawa dingin, tetapi juga untuk menyalurkan euphoria yang saya rasakan. Untunglah hal ini kami lakukan sebelum pertandingan mulai, karena selama pertandingan, seperti biasa bila tim favorit saya bertanding, saya akan serius memperhatikan sambil jantung berdetak cepat, khawatir kalau jagoan saya kalah.

Pendukung Inter Milan

Penaltynya Recoba

Sayang jugaa... Jadi sedikit sekali foto yang saya ambil saat pertandingan berjalan saking saya sibuk mengikuti jalannya permainan karena tidak ada bantuan komentator. Inilah salah satu kekurangan menonton live. Kita tidak bisa melihat moment replay, mendengar komentator menilai tiap sudut lapangan yang kadang luput dari  mata penonton dan juga tak dapat melihat jelas siapa si pembawa bola, kecuali dari nomor punggungnya. Perhatian harus terkonsentrasi ke atas lapangan untuk melihat strategi permainan yang disodorkan oleh tim yang berduel dan juga aksi dari pemain yang membawa bola maupun yang di luar jalur bola. Kadang bola pun tak terlihat lari kemana. Seharusnya bawa teropong ya, padahal tribun kami sudah cukup dekat loh ke lapangan, apalagi karena Il Tardini merupakan stadion kecil yang hanya memuat sekitar 25ribu penonton dibandingkan dengan Stadion Senayan yang mampu menampung 100ribu penonton. Tetapi tetap saja suasananya membuat seluruh bulu kuduk merinding. Bersorak bersama ratusan pendukung Inter lainnya dan melonjak gembira penuh kemenangan saat Inter membawa pulang 3 poin dengan hasil 2-1. Dan seperti dalam lagu "Take Me Out...", "I don't care if I never get back". But yet, we had to get back to reality. Dan menuju Milan adalah realitas pertama yang harus kami hadapi.

After shopping before the game (hehehe another rough photoshop)

Pertandingan tersebut dimulai pada pukul 19.30 dan selesai sekitar pukul 21.30. Dan kami tidak langsung berlalu begitu saja dari stadion. Berfoto-foto sejenak dari tribun dan di depan pintu masuk stadion, yep, kami masih merasakan efek "tidak mau terbangun dari mimpi indah". Setelah puas, kami pun berjalan menuju stasiun Parma dan menemui puluhan orang duduk di peron yang kami kira sedang menunggu kereta. Ternyata, mereka bukan sedang menunggu. Mereka adalah seperti kami merupakan fans Inter yang ketinggalan kereta terakhir! Aaargh...! Bagaimana ini? Dan kereta pertama ternyata baru ada sekitar jam 5 pagi. Huaaah!!! Kami pun terpaksa menginap di peron stasiun Parma bersama yang lain di tengah dinginnya udara musim dingin. There's always first time for everything, dan menginap di stasiun kereta karena ketinggalan kereta terakhir merupakan hal yang pertama kali saya alami seumur hidup saya.

Ketinggalan kereta demi this snapshot of Fabio Cannavaro
Setelah Parma, 2 kali saya kembali menonton pertandingan bola secara langsung. Pertama, saat pertandingan persahabatan antara Belanda dan Argentina. Kebetulan flatmate saya adalah seorang Argentine sehingga saya terkadang berkumpul bersama geng Argentina ini. Tapi sepakbola menyatukan semua bangsa. Saat menonton pertandingan ini, bukan hanya Argentines saja yang pergi tetapi juga fans bola dari Indonesia, Guatemala, Inggris, Islandia, Kanada, Australia, bahkan Kanada pun turut serta. Sayangnya kali ini kami berseberangan dengan classmates kami dari Belanda karena "panitia" pertandingan alias komite olahraga kebanyakan berisikan pendukung Argentina. Kembali di tengah cuaca dingin, bersalutkan jaket tebal, saya kembali kesana, menyusup di tengah keriuhan pendukung kedua kesebelasan, menyaksikan kedua musuh saya saling bertanding yang dimenangkan oleh tuan rumah Belanda dengan angka 1-0.

Pendukung Argentina beraksi (kembali krn foto lama, diphotoshop ya)
 Pertandingan terakhir yang saya tonton adalah Amsterdam Tournament, karena di turnamen pemanasan sebelum kompetisi liga ini dimulai diikuti 2 kesebelasan favorit saya, Inter Milan dan Liverpool dari Inggris. Kali ini saya tidak perlu dibungkus jaket tebal, karena pertandingan berlangsung pada musim panas. Suasana santai terasa di pertandingan ini, terutama karena turnamen ini bukan merupakan turnamen utama. Tapi pada saat Ajax sebagai tuan rumah bertanding, hampir seluruh stadion bersorak untuk mereka. Dan saya pun harus menyembunyikan kekecewaan karena mereka memukul Inter 3-0. Alasan yang bagus untuk cepat-cepat pergi meninggalkan Amsterdam ArenA selain juga saya tidak ingin kejadian ketinggalan kereta di Parma terulang lagi di Amsterdam.

Liverpool vs Galatasaray - Ams Tournament 2003

Setelah itu tak pernah lagi saya menonton bola secara langsung di lapangan walaupun keinginan menggebu ada, apalagi Piala Dunia 2006 waktu itu dilaksanakan di Jerman. Sayang seperti yang sudah saya ceritakan, kami keburu pergi ke Jeddah.
Tetapi sekarang saya kembali ke negeri bola. Saatnya gearing up lagi untuk menonton pertandingan-pertandingan yang saya suka. Pengalaman adalah guru terbaik, karena itu berdasar pengalaman, tidak lagi saya akan menonton di tengah musim dingin, kecuali tim kesayangan saya yang bermain.

Jadi, tak mungkin semua hal di atas tidak menjadi memorable moments bagi saya. Mulai dari serunya melihat langsung tim dan pemain kesayangan baik di dalam maupun di luar negeri, dilempari barang oleh penonton bonek, kedinginan yang disapu oleh adrenalin yang terpompa kencang, ketinggalan kereta sampai harus menginap di stasiun sampai menyusup sebagai pendukung tim musuh bersama teman dari berbagai bangsa.  

But most of all, terwujudnya mimpi menonton langsung "real match" yang penuh dengan aroma kompetisi dan bukan sekedar "courtesy match". And writing this reminded me, that I have some pending dreams to achieve. Mungkin setelah angin kencang yang saat ini sedang menimpa saya mereda, saya akan bisa kembali bangkit menjalani the road less travelled seperti dulu dan berusaha mewujudkan kembali cita-cita saya yang tertunda.  


I'll be back!! (again, photoshopped for a reason)

 
Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway Indah Nuria 

Comments

  1. Saya ingin melihat wajah dibalik photoshooop itu mak... xixixixi *peacee aahh

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe pokoknya versi younger n fresher deh mak ;)

      Delete
  2. Maaaaaak.....me like it! Hehehe...benar-benar penggila bola dengan itchy feet :D...buktinya sampai rela ke sana-ke sini...hebaaat...But I love Italy as well..banyak yang dilihat, relatif lebih murah dibanding Eropa Barat lainnya dan seruuu :D..Thanks for joining my ItchyFeet contest yaaaa....udah memenuhi syarat yang lainnya kan mak? viva traveling et happy blogging...

    ReplyDelete
    Replies
    1. udah semua kok kok mak... eniwei this contest was fun... memaksa mengeluarkan kenangan masa lalu hihihi...
      Emang pengen balik lagi ke itali, kali ini sama anak2 seru kalii :D

      Delete
  3. saya bukan penggemar sepak bola. Tapi, pernah sekali nonton pertandingan sepakbola di lapangan. Rasanya memang seru :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. aiih, maaf mak, baru liat komennya. Emang kalo nonton live itu seru kebawa suasana ;)

      Delete

Post a Comment