Skip to main content

Mejeng lagi di Republika Leisure

Alhamdulillaah, berhasil lagi catatan jalan-jalanku masuk di Republika Leisure. Sebenarnya sih lagi nyoba ke media lain. Tapi karena setelah sebulan ga ada kabar, ya langsung aku tarik aja lagi. Dan mencoba ke Republika. Untungnya setelah 2 minggu, datanglah kabar baik bahwa minggu depannya akan diterbitkan. Lucunya munculnya tepat keesokan harinya setelah kedatanganku di Jakarta. Artikelnya tentang Mada'in Saleh yang reportnya aku pernah muat di posting jalan2 ini. Kalau untuk porsi media, tentunya kalimat diperbaiki dan diperlengkap dong. Judul yang kukirim sebenarnya adalah MENELUSURI SISA KAUM TERAZAB DI MADA’IN SALEH. Tetapi oleh editor diganti menjadi PASIR BERBATU MADA'IN SALEH.

Oya, kalau mau melihat artikel aslinya bisa ke Republika E-Paper tanggal 22 Oktober 2013. Yang aku copas di bawah adalah tulisan yang dikirim ke redaksi. Jadi bisa dilihat hasil editannya. Selamat membaca :)

-----


MENELUSURI SISA KAUM TERAZAB DI MADA’IN SALEH
(PASIR BERBATU MADA'IN SALEH - Republika Leisure 22 Oktober 2013)



Saudi Arabia yang luas dan sarat akan sejarah memiliki berbagai ‘best kept secret places’ yang indah dan menakjubkan. Salah satunya adalah tempat bernama Al U’la dan Mada’in Saleh yang pernah saya, Vica Item, kunjungi selama bermukim di negeri gurun ini.

Mada'in Saleh atau Al Hijr merupakan salah satu situs bersejarah yang menyimpan peninggalan arkeologis berusia ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Disana terletak banyak makam (tombs) pahatan manusia yang indah di tengah batu gurun hasil pahatan alam. Situs ini merupakan salah satu dari Peninggalan Warisan Dunia Unicef (UNICEF’s World Heritage). Banyak arkeologis terutama dari dunia barat yang datang ke daerah ini untuk mengungkap rahasia sejarah Al Hijr.

Jaraknya kira-kira 4 jam atau sekitar  400an km ke arah utara dari kota Madinah al Munawarah atau 800 km dari kota Jeddah, tempat saya bermukim. Untuk menuju kesana, saya pergi secara konvoi bersama teman-teman sesama mukimin Jeddah. Medan yang berliku, asing dan nyaris tak bertuan untuk menuju ke sana tak memungkinkan kami untuk pergi kesana sendirian. Selain itu, salah seorang dari kami sudah mengenal orang setempat yang dapat mengurus perizinan untuk
mengunjungi situs tersebut. Perjalanan mulus kami lewati melalui jalan bebas hambatan tak berbayar dari Madinah ke arah Yaman, sampai pada suatu titik, kami berbelok menuju ke kota Al U’la. Jalan kecil panjang berliku inilah yang cukup membuat hati cemas bila harus berjalan sendiri disana  karena tiada lampu maupun perumahan sedikit pun belasan kilometer jauhnya.  


Sebelum memasuki Mada’in Saleh, kami berhenti di pinggiran kota Al U’la, kota kecil yang tertata apik dengan airport kecil tepat di pinggirannya. Di kota inilah terlihat banyak plang nama toko berbahasa Inggris, sesuatu yang bahkan jarang kami temui di Mekkah maupun Madinah. Rupanya di kota Al U’la banyak bermukim atau  menginap arkeolog barat peneliti situs Mada’in Saleh. Kami berhenti di kota ini untuk menemui pemandu wisata yang memegang surat perizinan yang telah memuat daftar nama kami.

Kami berhenti menunggu sang pemandu wisata di suatu bekas kastil tua di batas luar kota Al U’la. Kastil ini dulunya merupakan kastil milik salah satu Raja Arab bernama Musa bin Nusair yang berada di tengah kota tua Al Deirah. Kastil Al U’la ini juga menjadi tempat pengintaian musuh yang datang dari arah selatan dan menjadi benteng pertahanan kota tua tersebut. Ia dibangun sekitar abad 6 SM, namun sekarang direnovasi kembali untuk mempertahankan sejarah di daerah ini. Ia dibangun setinggi 45meter di atas permukaan tanah dengan luas sekitar 180m2.

Di seberangnya terlihat bekas reruntuhan pondasi rumah dari batu dikelilingi gunung batu berwarna merah bata terang. Bebatuan di daerah ini terlihat jelas berbeda dari gunung cadas berwarna hitam yang biasa terlihat di sepanjang perjalanan Jeddah-Mekkah atau Jeddah-Madinah.

Setelah pemandu kami datang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Mada’in Saleh. Ternyata, sepanjang 30 km perjalanan antara Al U’la – Mada’in Saleh, saya disuguhi pemandangan alam yang begitu indahnya. Masya Allaah. Di kiri kanan jalan terbentang gurun dengan gunung batu pasir berbentuk indah dengan aneka ragam lekukan hasil gerusan alam. Warna-warna cerah gradasi merah kuning bagaikan mawar gurun melingkupinya. Beda sekali dengan tekstur gunung batu yang biasa saya lihat di Saudi ini. Terpikir di kepala untuk turun dari mobil dan berjalan hiking menyusuri tiap celah gunung batu tersebut. Apalagi saat itu sedang musim dingin, sehingga udara cukup sejuk bahkan terkadang angin dingin gurun yang kerasa terasa menembus merasuki tulang. Sayang, kami harus mengejar waktu untuk bisa sampai ke tujuan awal kami di Mada’in Saleh.  Akhirnya, cukup memori saya saja merekam dan berkhayal dapat menikmati tamasya di bawah bayang-bayang pegunungan batu yang mengingatkan pada gambar  Grand Canyon di Amerika Serikat itu.

Akhirnya sampai juga kami di gerbang masuk Mada’in Saleh Al Hijr. Dalam bahasa Arab, Al Hijr sendiri berarti gunung batu.  Ada apakah di balik tempat yang tampak terkurung sepi ini?

Sebenarnya Mada’in Saleh dulunya merupakan suatu kota purba sebelum jaman Nabi Musa a.s. dimana hidup bangsa Tsamud dan Nabi Saleh a.s.. Kaum Tsamud terkenal di dalam berbagai kisah  yang terselip di ayat-ayat Al Quran sebagai bangsa yang membangkang terhadap perintah Allaah sehingga mereka menjadi bangsa terkutuk yang diazab hingga punah peradabannya. Saya pun sebenarnya agak takut mengunjungi situs ini, karena merupakan tempat bekas hukuman Allah dan adanya hadits riwayat Nabi Muhammad SAW yang melarang meminum air dari sumurnya bila lewat sana dan menyarankan kita untuk sebaiknya menangis karena takut akan azabNya saat berada di tempat tesebut. Namun rasa penasaran karena ingin melihat langsung sejarah yang tercatat dalam Al Quran secara nyata membuat saya mengikuti perjalanan ini.

Apakah kesalahan kaum Tsamud sehingga diazab Allaah hancur rata dengan tanah? Memang di situs Al Hijr ini tidak ada rumah atau apapun juga yang menandakan pernah ada orang hidup disana. Sampai saat ini pun tidak ada orang tinggal disana. Tak ada hal lain kecuali makam batu pahatan manusia dan gunung pahatan alam. Pengunjung hanya boleh disana sampai kira-kira sejam sebelum magrib, lalu dipersilahkan pulang. 

Kaum Tsamud disebutkan sampai 25 kali di dalam Al Quran, seperti dalam surat Al Hijr, Hud, As Syams dsb. sebagai pelajaran bagi kaum sesudahnya. Kaum ini sebenarnya merupakan kaum yang diberi kelebihan oleh Allaah berupa kemahiran dalam memahat gunung batu yang keras dan kekayaan alam yang subur. Walaupun dikelilingi gunung batu, sawah dan sumur mereka selalu basah oleh air sehingga mereka kaya raya.  Rumah mereka terbangun indah dan megah di tengah gunung batu yang berdiri tegar. Daerah ini dulunya juga merupakan daerahnya kaum Aad, kaum terkutuk lain yang juga diratakan dengan tanah oleh Allaah. Sayangnya, kekayaan dan kemahiran mereka tersebut membuat mereka sombong

Allaah mengirim Nabi Saleh a.s. yang merupakan salah seorang dari kaum Tsamud. Beliau mengajak mereka menyembah Allaah dan bersyukur atas pemberian yang diberikan Allaah kepada mereka. Namun mereka menentangnya bahkan menantang nabi Saleh untuk menunjukkan eksistensi Allaah kepada mereka. Rupanya oasis di gurun batu tidak cukup menjadi tanda bagi mereka kaum yang tidak berpikir, bahwa itu adalah ciptaan Allaah.

Kemudian Allaah menciptakan unta betina dari gunung batu dan mengeluarkannya dari dalamnya sebagai suatu mukjizat. Nabi Saleh lalu berpesan agar sapi betina itu dibiarkan makan dan minum sesukanya. Kaum Tsamud tidak menyukai unta ini yang dianggap merusak perkebunan mereka. Dan, berpalinglah mereka dari pesan Nabi Saleh dan menyembelih unta betina tersebut saat ia hendak minum air dari mata air di tengah gunung batu kesukaannya (Asy Syams 91: 11-15).

Akhirnya, Nabi Saleh menyampaikan berita bahwa negeri itu akan hancur dalam waktu tiga hari, sementara mereka tetap tidak percaya. Dan setelah waktu yang dijanjikan, suara menggelegar menghancurkan begitu saja semua kaum Tsamud kecuali Nabi Saleh dan pengikutnya yang beriman kepada Allaah. Allaah menghancurkan kaum Tsamud sedemikan rupa sehingga tidak ada tanda-tanda ada orang pernah hidup disitu.

Kisah azab Allaah inilah yang sebaiknya diingat saat berada disana. Niscaya, keberadaan gurun yang luas dan sepi itu akan membuat hati merasa miris dan berdoa agar kita tidak menjadi seperti bangsa Tsamud. Dan benar saja, saat memasuki daerah makam, terasa bulu kuduk ini berdiri yang rasanya bukan karena angin gurun yang bertiup sepoi-sepoi.

Menurut pemandu kami, nama Mada'in Saleh juga ternyata merupakan nama baru. Dulunya kota kaum Tsamud tersebut tidak diketahui namanya karena tidak ada catatan manusia mengenainya. Nama Mada’in Saleh sebenarnya diambil dari kata madina atau kota, dan karena lebih dari satu kota, maka dipakai bentuk jamak Mada’in. Tentunya Saleh berasal dari nama Nabi Saleh a.s.  sehingga artinya kira-kira kotanya nabi Saleh. Daerahnya teramat luas, kira-kira ratusan hektar hanya berisikan gunung batu yang kebanyakan berisikan makam batu dan gurun pasir.

Makam batu siapakah itu? Bukankah kota kaum Tsamud sudah lenyap rata dengan tanah?

Makam-makam tersebut ternyata bukanlah milik kaum Tsamud. Jauh setelah kaum Tsamud, ratusan tahun  setelah mereka hancur, datanglah kaum yang bernama kaum Nabatean. Mereka berasal dari daerah Petra di Yordania, sekitar 500 km dari arah utara Al Hijr. Mereka menjadikan daerah ini sebagai kota kedua setelah Petra dan membangun pemukiman kecil, namun terutama sekali  mereka membangun makam dan kuil pemujaan di sekitar sumur yang diyakini bekas sumur tempat minum unta Nabi Saleh a.s.

Makam yang terpahat dengan indahnya di batu gurun inilah hasil dari kemahiran kaum Nabatean mengukir batu pasir yang keras. Makam ini terdiri dari berbagai macam ukuran dan ukiran dan menentukan pula status orang yang dimakamkan di situ. Semakin besar dan indah makamnya, semakin kaya dan tinggi status sosial si jenazah. Dan ternyata yang dikuburkan bukan berupa badan utuh. Kaum Nabatean memiliki ritual pemakaman yang cukup menyeramkan dan sadis. Setelah seseorang meninggal, ia ditaruh di depan pintu makam lalu dibiarkan dimakan oleh binatang liar seperti burung elang dan anjing gurun. Gambar kedua hewan tersebut biasanya terpampang di atas pintu masuk makam. Baru setelah habis tubuhnya, sisa tulang belulangnya dimasukkan ke dalam peti batu di dalam makam. Cerita dari sang pemandu kembali membuat saya bergidik ngeri.

Makam terbesar di situs ini yang disebut dengan Qasr Al-Farid milik keluarga bangsawan Petra bernama Hayyan bin Kuza, sayangnya tidak pernah terselesaikan dan ia berdiri sendiri terpencil dari makam lainnya di balik bukit pasir.
Pasir di Mada’in Saleh inipun terasa berbeda dari pasir di tempat lain misalnya seperti di Badr yang halus atau pasir pantai yang sedikit kasar. Saat tak sengaja pasir memasuki sepatu saya terasa kekasarannya seperti batu yang dihancurkan. Apakah ini merupakan pasir orang-orang yang telah mati ribuan tahun lamanya? Entahlah.

Kaum Nabatean ini seperti kebanyakan kaum purba lainnya juga merupakan kaum pagan yang menyembah berhala. Bekas kuil mereka pun masih ada disini. Kuil yang di sebut Ad Diwan ini konon katanya berada di jalur perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Madinah ke Mekkah. Di jalur yang sempit dan curam inilah ada sumur yang dilarang diambil airnya untuk minum oleh beliau.

Kuil Ad Diwan terlihat cukup luas karena langit-langitnya yang tinggi. Kembali bebatuan pasir atau biasa disebut sandstone menghiasi tempat ini. Di tempat ini tidak terdapat makam-makam seperti bagian gurun lainnya. Namun kita dapat memasuki jalan mendaki yang terdiri dari lapisan batu-batu pasir untuk melihat lubang sumur yang kini tentunya telah mongering. Walaupun terlihat aman karena bagai undakan tangga, tapi saya harus berhati-hati saat menuruni jalan di belakang kuil Ad Diwan ini. Batu yang licin oleh pasir halus cukup membuat jeri bila kita terpeleset.

Sebagai kota kedua kerajaan Petra, Yordan, tentunya kita akan menemukan banyak kemiripan antara bangunan makam batu di Petra dan Mada’in Saleh. Faktanya, situs makam batu kaum Nabatean hanya terdapat di kedua kota tersebut dan Mada’in Saleh merupakan situs yang lebih sulit untuk didatangi. Saya pun merasa beruntung dapat mendatangi kota ini dan beristighfar, agar saya dan negara saya terlindung dari azab Allaah yang sedemikian dahsyatnya.

Walaupun saat ini merupakan tempat yang sulit untuk didatangi, dahulunya sekitar awal abad 20, tempat ini merupakan salah satu daerah yang dilintasi kereta api kerajaan Ottoman, Hijaz Railways. Kerajaan Ottoman merupakan penguasa Jazirah Arabia sebelum direbut oleh bangsa Saudi. Setelah memasuki gerbang utama, terlihat gerbong kereta api dari kayu lengkap dengan lokomotifnya yang merupakan hasil renovasi dari kereta api Hijaz railway. Terdapat pula stasiun yang sayangnya hanya merupakan replika sehingga tidak dapat saya masuki. Barulah setelah melewati stasiun terakhir Hijaz Ottoman ini, saya dan rombongan memasuki situs asli Al Hijr seperti yang telah saya ceritakan di atas.

Setelah puas melihat-lihat situs Al Hijr kami pun melanjutkan perjalanan pulang ke Madinah, tempat kami menginap. Dan berbeda dengan waktu siang yang terang benderang, perjalanan kembali ke Madinah saat malam hari memberi kesan yang lebih mencekam, karena tak adanya lampu jalan sama sekali dan jarangnya kendaraan yang lalu lalang. Namun, saya cukup puas telah berhasil mendatangi tempat tersebut dan melihat pemandangan ekstra di sepanjang perjalanan yang menurut saya jauh lebih indah dari sekedar pahatan manusia. Dan cukup pula mengingatkan saya bahwa azab Allaah benar adanya.



***

Nginap dimana, habis berapa, naik apa

Tempat menginap:
Di kota Al U’la terdapat kira-kira 3 hotel besar dan 1 buah resort yang sepertinya ditujukan untuk para pengunjung atau arkeolog barat. Sementara saya menginap di kota Madinah yang memiliki lebih banyak pilihan hotel. Kunjungan ke Mada’in Saleh, walaupun harus terencana memang biasanya hanya merupakan kunjungan sampingan dari tujuan utama ziarah ke Masjid Nabawi di Madinah.

Habis berapa
Komponen biaya terbesar tentulah untuk hotel atau penginapan. Sementara untuk makan dapat kita bawa dari tempat kita menginap karena tidak tersedia tempat makan di Mada’in Saleh dan memang sebaiknya tidak berpiknik disana. Namun biasanya tidak sampai 50sar per keluarga. Biaya bensin pun tergantung jenis mobil, mulai dari 30 sar sampai 120 sar karena jauhnya jarak tempuh yaitu sekitar 8 jam bolak balik ke Madinah. Selain itu juga siapkan pembayaran sekitar 20-30 sar per keluarga untuk perizinan dan tips pemandu.

Naik apa

Untuk sampai kesana, biasanya kita memakai mobil pribadi, atau bila beramai-ramai dan cukup anggota perjalanan, kita bisa menyewa bis dari kota Madinah. Sayangnya, situs ini tertutup bagi non mukimin dan hanya menerima visa kerja (arkeolog dan tim peneliti) atau turis visa, yang kebetulan termasuk sulit diperoleh dari Kedutaan Saudi.

Waktu terbaik untuk berkunjung
Sekitar musim dingin di bulan November-Februari, dimana udara cukup dingin di daerah ini. Jangan lupa membawa jaket atau pakaian yang agak tebal lainnya.



Comments

Post a Comment