Skip to main content

Menyusuri Jalan Kenangan di Kota Solo

Gerbang Pasar Klewer


"Mampir Solo ga Vic?"

Pertanyaan yang hampir selalu berulang saat aku mudik ke Indonesia. Memiliki darah separuh Solo tentunya membuatku juga memiliki banyak saudara dari yang dekat sampai jauh di kota kecil yang kalem ini. Tak terhitung seberapa panjang rentang pita memori yang terekam di kepalaku tentang Solo.

Sejak SD, hampir tiap libur panjang kenaikan kelas, aku menginjakkan kaki di Stasiun Kota Balapan yang menjadi gerbang awal petualangan liburanku di rumah eyang putriku yang terletak di daerah Sangkrah dekat pabrik sirop de Hoop. Jalanan panas dan berdebu kulalui di depan stasiun Kota saat pagi-pagi berjalan menuju pasar untuk membeli bubur terik kesukaanku. Wedhus mengembik dan berlarian bebas di depan pasar dan peron stasiun melepaskan aroma khasnya yang prengus. Biar saja, toh nantinya dia akan berakhir di panggangan sate pak Bejo yang terkenal dengan sate buntelnya dan berlokasi juga di daerah Sangkrah itu.

Gerbang Kraton
Hampir tiap hari saat aku melewati perbatasan Sangkrah menuju jalan Kapt. Mulyadi, kembali tercium bau menyengat ragi yang kukira adalah pembuatan brem solo, cemilan favoritku sampai saat ini. Ternyata menurut tanteku, itu adalah tempat pembuatan bedak tradisional. Duuh, aroma memang selalu akan dapat membawa kita mengenang suatu tempat atau kejadian. Karena setelah melewati bau itu, dari perempatan disisinyalah, perjalanan kami biasa dimulai. Apakah hari ini aku akan ikut ke arah Pasar Klewer dan membantu eyang putriku berjualan batik di kiosnya. Ataukah aku akan mengikuti oom dan mami papi ke Pasar Gede beli dawetnya. Sesekali saja aku mau diajak ke Pasar Gede. Terus terang, aku tidak begitu suka diajak ke pasar basah. Ataukah kami akan pergi melanjutkan perjalanan bertamasya ke kota lain. The journey began there...



Bagi orang Jakarta seperti aku yang terbiasa dengan laju kencang perkotaan, berlibur di Solo akan terasa lambat dan membosankan andai saja tidak ada kegiatan yang dilakukan. Bayangan memoriku terasa berputar saat menulis note ini. Berputar bagaikan roda sepeda yang kukayuh bersama saudara-saudariku yaitu para tante dan oom yang sebenarnya lebih pantas kupanggil mas atau mbak, karena umur kami tak jauh berbeda. Mengayuh sepeda membelah kota Solo yang panasnya membakar kulitku, menuju pasar Klewer, untuk sekedar menengok Eyang Putri atau bahkan ikutan iseng menawarkan batiknya bahkan duduk di dalam kios hanya untuk menunggu langganan bakso Klewer dan degan jawa dengan gula merahnya lewat. Sambil menunggu, cemilan ampyang, brem ataupun ayam goreng Surati (bukan Suharti) yang duduk di depan kios Eyang pun berpindah tangan dan celoteh para pelanggan dan suplier dengan eyang pun hidup menjadi hiburan gratis. Atau saat sore dimana matahari tak lagi garang bersinar, roda sepeda pun mulai berputar ke arah Stadion Manahan untuk sekedar berputar-putar melihat mobil yang lalu lalang di sekitarnya.

Lain waktu, putaran roda sepeda atau becak tergantikan oleh deru sepeda motor, saat oomku yang dulu masih kuliah membawaku ke tempat penyewaan buku. Aiih, si kutu buku menemukan sarangnya. Berbagai buku, komik dan majalah pun silih berganti kubaca. Penyewaan buku pun banyak menjamur kala itu, sehingga kami tidak hanya mendatangi satu tempat penyewaan tapi beberapa tempat dalam kisaran waktu seminggu. Tentunya, karena mencari koleksi majalah atau buku yang tak ada di lain tempat. Terus terang, mengunjungi penyewaan buku yang tak kutemui di Jakarta ini adalah satu hal yang kutunggu-tunggu saat pergi ke Solo.


Pasar Gedhe


Becak menjadi sarana angkutan yang paling aku gemari. Semriwing angin menerpa wajahku saat ia tak hanya untuk membawaku ke daerah Kraton yang cukup dekat namun juga sampai daerah Sriwedari untuk membeli gethuk lindrinya ataupun ke daerah dekat pasar Gedhe tempat kami menyatroni Es krim Tentrem yang wueenaaak dan murah. Selesai ngadem di Tentrem, biasanya kami akan menyeberangi jalan dr. Rajiman menuju toko roti Orion yang terkenal dengan bolu Mandrijnnya. Tak lupa juga, kami menyusuri jalan-jalan Notosuman untuk membeli lebih banyak oleh-oleh di toko-toku penganan yang bertaburan di jalan itu. Mulai dari onde-onde, serabi sampai bakso untuk tempat kami duduk melepas lelah.


Bicara tentang Solo tak akan ada habisnya. Ia berdiri tegar di ingatanku bukan hanya melalui aroma kota serta panas bumi dan mataharinya, bukan hanya dari membicarakan kekayaan cita rasa boganya yang melimpah ruah, juga bukan hanya dari temperamen halus dan alon kelakonnya. Solo adalah bagian dari diriku, dan tak kan lekang dari ingatanku tentang kota Solo yang kalem dan tentrem ini, tempatku menghabiskan banyak liburan masa kecilku. Dan juga liburan-liburan setelahnya, bersama sahabat SMAku, bersama teman gaul di kantorku, dan akhirnya bersama anak-anak dan suamiku. Tak mungkin aku menyimpan suasana kota Solo yang hidup dari subuh sampai tengah malam untuk diriku sendiri.

Tulisan ini memang aku buat untuk meramaikan kompetisi tulisan "Kesan tentang Solo". Namun lebih dari itu, aku menikmati menuliskan potongan memori masa lalu yang terbawa sampai detik ini.

Peresemian kereta saat terakhir aku ke Solo



*foto-foto ini disumbangkan oleh tante cantik saya, penghuni setia kota Solo

Kontes Tulisan Tentang Solo

Comments

  1. hai mak...saya mampir neh....membaca tulisan ini kok seperti membaca tulisan penulis favorit saya NH Dini ya...jangan2 penggemar beliau juga..mengalir banget ..saya suka

    ReplyDelete
    Replies
    1. masya Allaah... malu ah sama eyang NH Dini.. Kykny gara2 kebawa emosi aja nulisnya. Makasih udah mampir ya mak.

      Delete
  2. Sayang ya pangerannya pada berantem :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. ooh gitu yaa... Biarin aja mak, ga ngaruh kok ;)

      Delete
  3. Huaa..jadi inget masa2 tinggal di Solo. Kangen sangat :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ya mak Inna pernah di Solo yaa... Aku juga ni kangen suasana n makanannya mak.

      Delete
  4. saya baru ke Solo sekali, ingin kesana lagi.. waaaa...

    ReplyDelete

Post a Comment